Penjahat Taubat Kembali Beraksi, Risk Asesmen Gagal
Pakar Psikologi Forensik Resa Indragiri mengatakan, penakaran resiko
atau risk asesmen yang gagal menjadi penyebab seorang mantan warga
binaan akan kembali melakukan kejahatannya pascakeluar dari lembaga
pemasyarakatan.
"Jangankan di Indonesia, di negara-negara yang sistem pemasyarakatannya seperti di Amerika Serikat yang jauh lebih maju dari kita, masih tertatih-tatih menjawab hal ini. Dengan kata lain, kata kuncinya yaitu risk asesmen, penakaran risiko masih acap kali diragukan efektifitasnya untuk menakar seberapa jauh kemungkin seorang pelaku kejahatan akan mengulang kejahatannya setelah menjalani masa hukumannya. Jadi penakaran resiko yang gagal, itulah yang menjadi penyebabnya," kata Reza kepada RRI, Senin (22/6/2020).
Reza menyebut, setidaknya ada lima yang harus dilakukan penakaran sebelum warga binaan bebas dan kembali ke masyarakat. Pertama melihat riwayat penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras yang bersangkutan.
"Itu yang pertama dicek. Kalau ya, seberapa jauh tingkat penyembuhannya, seberapa jauh peluangnya akan mencandu kembali," kata Reza.
Kedua adalah memantau fantasi kekerasan yang bersangkutan, apakah dalam perbincangan. Minat bacaan, filmnya, bahkan mimpi yang masih diwarnai dengan kekerasan.
"Kalau hal itu masih diwarnai kekerasan, seperti masih suka baca kekerasan, masih suka ngobrol kekerasan, dalam mimpi pun isinya pertengkaran dan perkelahian, ini jadi pertanda harus diwaspadai, ada kemungkinan yang bersangkutan mengulang kembali perilaku kejahatanya," jelasnya.
Ketiga kata Reza dengan memantau ekspresi yang bersangkutan saat marah. Lika lebih bijak dan tenang dalam mengekpresikan amarah, maka hal itu bertanda positif.
"Kalau marah banting-banting barang, mukul-mukul orang, setelah direhabilitasi, maka belum ada tanda positif," uajrnya.
Selanjutnya dengan melihat tingkat kemandirian. Akan dilihat dari seberapa jauh yang bersangkutan memiliki keterampilan baru yang akan dibutuhkan saat di keluar dari lapas nanti. Apakah mempunya keterampulan untuk memulai pekerjaan baru untuk menjadi sumber penghasilan baru.
"Kalau ternyata tidak ada peningkatan atau pengayaan keterampilan hidup, yang bersangkutan akan ditakutkan akan kembali melakukan kejahatan yang sama, sebagai upaya mengisi periuk nasi keluarga," sebutnya.
Terakhir melihat dari tingkat stablitas hidup. Miskalnya domisili tetap atau berpindah-pindah, sebagai upaya penyesuaian diri di lingkungan sekitarnya.
"Kalau bersangkutan cenderung berpindah-pindah, kalau gagal, hasil penataran resiko atau risk asesmen gagal, kita punya alasan khawatir mantan ini akan melakukan kejahatanya kembali," pungkasnya.
sumber rri.co.id
"Jangankan di Indonesia, di negara-negara yang sistem pemasyarakatannya seperti di Amerika Serikat yang jauh lebih maju dari kita, masih tertatih-tatih menjawab hal ini. Dengan kata lain, kata kuncinya yaitu risk asesmen, penakaran risiko masih acap kali diragukan efektifitasnya untuk menakar seberapa jauh kemungkin seorang pelaku kejahatan akan mengulang kejahatannya setelah menjalani masa hukumannya. Jadi penakaran resiko yang gagal, itulah yang menjadi penyebabnya," kata Reza kepada RRI, Senin (22/6/2020).
Reza menyebut, setidaknya ada lima yang harus dilakukan penakaran sebelum warga binaan bebas dan kembali ke masyarakat. Pertama melihat riwayat penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras yang bersangkutan.
"Itu yang pertama dicek. Kalau ya, seberapa jauh tingkat penyembuhannya, seberapa jauh peluangnya akan mencandu kembali," kata Reza.
Kedua adalah memantau fantasi kekerasan yang bersangkutan, apakah dalam perbincangan. Minat bacaan, filmnya, bahkan mimpi yang masih diwarnai dengan kekerasan.
"Kalau hal itu masih diwarnai kekerasan, seperti masih suka baca kekerasan, masih suka ngobrol kekerasan, dalam mimpi pun isinya pertengkaran dan perkelahian, ini jadi pertanda harus diwaspadai, ada kemungkinan yang bersangkutan mengulang kembali perilaku kejahatanya," jelasnya.
Ketiga kata Reza dengan memantau ekspresi yang bersangkutan saat marah. Lika lebih bijak dan tenang dalam mengekpresikan amarah, maka hal itu bertanda positif.
"Kalau marah banting-banting barang, mukul-mukul orang, setelah direhabilitasi, maka belum ada tanda positif," uajrnya.
Selanjutnya dengan melihat tingkat kemandirian. Akan dilihat dari seberapa jauh yang bersangkutan memiliki keterampilan baru yang akan dibutuhkan saat di keluar dari lapas nanti. Apakah mempunya keterampulan untuk memulai pekerjaan baru untuk menjadi sumber penghasilan baru.
"Kalau ternyata tidak ada peningkatan atau pengayaan keterampilan hidup, yang bersangkutan akan ditakutkan akan kembali melakukan kejahatan yang sama, sebagai upaya mengisi periuk nasi keluarga," sebutnya.
Terakhir melihat dari tingkat stablitas hidup. Miskalnya domisili tetap atau berpindah-pindah, sebagai upaya penyesuaian diri di lingkungan sekitarnya.
"Kalau bersangkutan cenderung berpindah-pindah, kalau gagal, hasil penataran resiko atau risk asesmen gagal, kita punya alasan khawatir mantan ini akan melakukan kejahatanya kembali," pungkasnya.
sumber rri.co.id