UU Pelayanan Publik Perlu Diperbaiki Agar Adaptif Hadapi Dinamika
Akademisi Universitas Brawijaya Wawan Sobari dalam FGD Penyempurnaan UU Pelayanan Publik yang dilakukan secara virtual, Rabu (14/10).
JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), berencana mengusulkan revisi Undang-undang No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Setelah lebih dari sepuluh tahun diundangkan, regulasi tersebut akan diperbarui agar lebih adaptif, terutama dalam situasi tidak terduga seperti pandemi.
Rencana revisi ini telah ada sejak tahun 2019 lalu. Hari ini, Rabu (14/10), Kementerian PANRB menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang mengundang narasumber dari akademisi, ahli, dan praktisi. FGD itu bertujuan menampung usulan terkait penyempurnaan UU Pelayanan Publik. Acara ini dibuka oleh Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Pelayanan Publik Kementerian PANRB M. Imanuddin.
Kali ini, unit kerja Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB mengundang Prof. Hamka Naping (Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin) serta Wawan Sobari (Akademisi Universitas Brawijaya). Selain dua akademisi diatas, Kementerian PANRB juga mengundang Kepala Program Yayasan Persahabatan Indonesia-Kanada (Yappika-ActionAid), Hendrik Rosdinar sebagai penanggap, dan dimoderatori Direktur Monev dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri.
Wawan Sobari menjelaskan, pelayanan publik saat ini memiliki 12 asas, diantaranya meliputi kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keterbukaan, partisipatif, serta akuntabilitas. Asas-asas tersebut tentu harus relevan atau terkait dengan Pancasila dan butir pengamalannya.
Namun, Wawan mengatakan, 12 asas yang ada baru sesuai dengan empat sila. Menurut Wawan, tidak ditemukan satupun asas yang relevan dengan sila pertama, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. “Maka penting ada kalibrasi asas. Usulan saya, ada unsur spiritualitas sebagai asas,” ungkap Wawan.
Hal lain yang diusulkan Wawan adalah terkait inovasi pelayanan publik. Wawan mengusulkan adanya bab yang mengatur tentang inovasi pelayanan publik dalam UU tersebut.
Menurutnya, pelayanan publik akan lebih cepat berkembang ketika ada terobosan atau inovasi. Perubahan atau dinamika masyarakat yang berkembang secara global memerlukan sistem layanan yang adaptif. “Sekarang era disruptif. Kita harus lebih agile government. Tapi tidak hanya agile, kepemimpinan inovatif,” jelasnya.
Dari sisi lain, Prof. Hamka Naping memberi masukan dari aspek antropologi sosial budaya. Menurutnya, ada tiga perspektif penting dalam rangkaian proses pelayanan publik, yakni manusia, proses pelaksana, dan output pelaksana.
Ia menjelaskan, pelaksanaan pelayanan publik tidak bisa disamaratakan di tiap daerah. Misalnya, alur dan proses pelayanan di Sumatra Utara tidak bisa disamakan dengan kebiasaan masyarakat di Pulau Jawa. Ada beberapa dimensi sosial budaya yang juga mempengaruhi pelayanan publik, seperti struktur sosial masyarakat setempat, dinamika sosial, sistem pengetahuan dan kepercayaan, norma, serta adat istiadat.
“Menurut keyakinan social science saya, seluruh proses pembangunan tidak bisa mengabaikan nilai budaya. Nilai sosial budaya bisa menjadi potensi, bisa menjadi penghambat,” ungkap Prof. Hamka.
Pada akhir diskusi, disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah simbol kehadiran negara. Penting untuk memastikan pelayanan publik ini jelas keberpihakannya. Kedua, pelayanan publik harus inovatif dan adaptif. Terobosan baru diperlukan untuk beradaptasi dengan situasi seperti dinamika sosial dan pandemi. Sementara kesimpulan terakhir adalah pelayanan publik harus direkonstruksi ulang agar lebih partisipatif.
Nantinya, UU ini diharapkan bisa menjadi acuan dalam peningkatan pelayanan publik. Setelah tahap ini akan dilakukan perumusan pasal per pasal UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.