Adaptasi Pendidikan di Era Pandemi Covid-19
Wabah pandemi Covid 19 menimbulkan goncangan dan sumber
ketidakpastian bagi kehidupan manusia. Karena sampai sekarang, masih
belum ditemukan vaksin anti virus kapan pandemic ini berakhir.
Disisi lain, covid 19 mendorong dunia pendidikan untuk bersiap dan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Proses pembelajaran model daring (dalam jaringan) menggunakan teknologi 4.0 yang dulu masih dianggap angan angan, kini dengan covid 19 kita dipaksa dan dipercepat harus menggunakan teknologi 4.0 dalam kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sementara itu pemerintah cq Kemendikbud terlihat sangat gagap dan gamang menghadapi perubahan ketidakpastian dalam situasi Covid 19.
Mas menteri Nadiem Makarim yang berlatar belakang praktisi teknologi 4.0, dianggap sukses ketika masuk dalam dunia bisnis, tapi menjadi gamang dan gagap ketika masuk dunia pendidikan melakukan migrasi pembelajaran dari offline menjadi online (daring) dengan hanya lebih mengedepankan pengajaran isi.
Masyarakat menilai pemerintah gagal melakukan transformasi pendidikan dalam situasi pandemi.
Demikianlah benang merah dari Diskusi Webinar Transformasi Pendidikan di Era Pandemi Covid 19, yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia /PPKBPII (2/5/2020).
Diskusi ini dilakukan dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ditengah situasi wabah pandemic covid 19 yang diikuti oleh ratusan peserta aktifis PII dan KBPII dari seluruh wilayah Tanah Air.
Menurut Arif Satria, Rektor IPB, hikmah dibalik wabah covid 19 mendorong masyarakat untuk menjadi pembelajar yang lincah dengan pola pikir yang terus berkembang (growth mindset) bukan pola pikir yang tetap (fixed mindset).
Mengutip pandangan Alvin Toffler, bahwa kebodohan abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa baca dan tulis, tapi bodoh diabad 21 adalah mereka yang tidak mampu belajar, tidak bisa menjadi pembelajar untuk melakukan proses adaptasi terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Arif Satria juga mengingatkan bahwa persoalan covid 19 hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan sains, bukan pendekatan politis.
Oleh sebab itu, kebijakan public terkait penanggulangan covid 19 harus bisa merubah paradigma pendekatannya berbasis pada sains, bukan lagi pada pendekatan politis.
Sedangkan Prof DR Zainuddin Maliki dari Komisi X DPR RI lebih menyoroti soal ketertinggalan dan kegagalan bangsa Indonesia dalam mengantisipasi ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge explosion) yang melahirkan kompleksitas yang luar biasa.
Ketertinggalan ini terjadi karena kita tidak pernah serius mengurus persoalan pendidikan sejak dulu sampai sekarang.
System pendidikan dan kurikulum pendidikan yang ada sekarang, hanya bisa menghasilkan lulusan yang seolah olah, sehingga tidak punya kompetensi yang jelas, tidak mampu berpikir kreatif, inovatif, adaptif terhadap perubahan, lulusan yang mampu berpikir solutif mengatasi persoalan.
Oleh sebab itu model penilaian pembelajaran yang lebih mengedepankan score test dengan standarisasi yang baku dan kaku, menjadi kurang relevan untuk bisa bersaing menghadap perubahan dan ketidakpastian yang semakin cepat.
Zainuddin Maliki juga menyoroti kebijakan anggaran pendidikan 20% sebagaimana amanah UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 hanya bersifat semu. Karena 20% dari APBN tidak semuanya diterima dan digunakan oleh satker dunia pendidikan, tapi juga dihitung dari anggaran K/L lain yang juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan kedinasan, sebagai bagian dari 20 % anggaran pendidikan. Apalagi dalam situasi pandemi Covid 19, pemerintah melakukan pemotongan anggaran pendidikan sampai 4,9 T untuk penanggulangan covid. Seharusnya jumlah sebesar itu harus kembali digunakan untuk penanggulangan covid 19 pada sector pendidikan, karena sector ini juga sangat terdampak dengan covid 19.
Sementara itu Rita Pranawati dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mengkritisi kebijakan kemdikbud terkait Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dianggap kurang efektif.
Masyarakat mengalami keterkejutan (shock) dengan perubahan pola pembelajaran. Orang tua diharapkan bisa melakukan pendampingan dalam pross PJJ.
Kompleksitas lainnya adalah tidak semua kondisi orang tua siswa memiliki kemampuan mengakses teknologi 4.0, selain itu juga masih ada kekhawtiran orang tua terhadap penggunaan gadget pada anak karena kecanduan game dan pornografi, tapi sekarang malah dipaksa untuk terbiasa menggunakan gadget dalam proses pembelajaran.
Hasil survey dari KPAI menjelaskan bahwa ada 76,7 % siswa mengaku tidak senang dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan ada 81,8% siswa mengaku proses PJJ lebih menekankan pada pemberian tugas, PR, tanpa ada proses dialog dan menjelaskan materi, diskusi atau tanya jawab. Liburan panjang karena covid 19 semula dianggap menyenangkan, tapi karena terlalu lama membuat rasa kebosanan. Disis lain guru juga kurang bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan proses pengajaran selain juga keterbatasan dalam hal literasi digital.
Menko PMK Muhajir Effendi melihat bahwa upaya pemerintah dalam penanganan covid 19 tidak semata mata urusan ekonomi dan mengabaikan sektor lainnya. Besarnya alokasi anggaran 200 T untuk sektor ekonomi diantaranya untuk menopang sektor UMKM. Muhajir mengakui bahwa pada krisis 1997-1998, UMKM memang tangguh menghadapi badai krisis, tapi pada wabah pandemi Covid 19, sektor UMKM juga ikutan ambruk. Oleh sebab itu, pemerintah tidak ingin UMKM juiga ikutan collapse ditengah badai covid 19.
sumber rri.co.id
Disisi lain, covid 19 mendorong dunia pendidikan untuk bersiap dan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Proses pembelajaran model daring (dalam jaringan) menggunakan teknologi 4.0 yang dulu masih dianggap angan angan, kini dengan covid 19 kita dipaksa dan dipercepat harus menggunakan teknologi 4.0 dalam kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sementara itu pemerintah cq Kemendikbud terlihat sangat gagap dan gamang menghadapi perubahan ketidakpastian dalam situasi Covid 19.
Mas menteri Nadiem Makarim yang berlatar belakang praktisi teknologi 4.0, dianggap sukses ketika masuk dalam dunia bisnis, tapi menjadi gamang dan gagap ketika masuk dunia pendidikan melakukan migrasi pembelajaran dari offline menjadi online (daring) dengan hanya lebih mengedepankan pengajaran isi.
Masyarakat menilai pemerintah gagal melakukan transformasi pendidikan dalam situasi pandemi.
Demikianlah benang merah dari Diskusi Webinar Transformasi Pendidikan di Era Pandemi Covid 19, yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia /PPKBPII (2/5/2020).
Diskusi ini dilakukan dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ditengah situasi wabah pandemic covid 19 yang diikuti oleh ratusan peserta aktifis PII dan KBPII dari seluruh wilayah Tanah Air.
Menurut Arif Satria, Rektor IPB, hikmah dibalik wabah covid 19 mendorong masyarakat untuk menjadi pembelajar yang lincah dengan pola pikir yang terus berkembang (growth mindset) bukan pola pikir yang tetap (fixed mindset).
Mengutip pandangan Alvin Toffler, bahwa kebodohan abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa baca dan tulis, tapi bodoh diabad 21 adalah mereka yang tidak mampu belajar, tidak bisa menjadi pembelajar untuk melakukan proses adaptasi terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Arif Satria juga mengingatkan bahwa persoalan covid 19 hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan sains, bukan pendekatan politis.
Oleh sebab itu, kebijakan public terkait penanggulangan covid 19 harus bisa merubah paradigma pendekatannya berbasis pada sains, bukan lagi pada pendekatan politis.
Sedangkan Prof DR Zainuddin Maliki dari Komisi X DPR RI lebih menyoroti soal ketertinggalan dan kegagalan bangsa Indonesia dalam mengantisipasi ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge explosion) yang melahirkan kompleksitas yang luar biasa.
Ketertinggalan ini terjadi karena kita tidak pernah serius mengurus persoalan pendidikan sejak dulu sampai sekarang.
System pendidikan dan kurikulum pendidikan yang ada sekarang, hanya bisa menghasilkan lulusan yang seolah olah, sehingga tidak punya kompetensi yang jelas, tidak mampu berpikir kreatif, inovatif, adaptif terhadap perubahan, lulusan yang mampu berpikir solutif mengatasi persoalan.
Oleh sebab itu model penilaian pembelajaran yang lebih mengedepankan score test dengan standarisasi yang baku dan kaku, menjadi kurang relevan untuk bisa bersaing menghadap perubahan dan ketidakpastian yang semakin cepat.
Zainuddin Maliki juga menyoroti kebijakan anggaran pendidikan 20% sebagaimana amanah UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 hanya bersifat semu. Karena 20% dari APBN tidak semuanya diterima dan digunakan oleh satker dunia pendidikan, tapi juga dihitung dari anggaran K/L lain yang juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan kedinasan, sebagai bagian dari 20 % anggaran pendidikan. Apalagi dalam situasi pandemi Covid 19, pemerintah melakukan pemotongan anggaran pendidikan sampai 4,9 T untuk penanggulangan covid. Seharusnya jumlah sebesar itu harus kembali digunakan untuk penanggulangan covid 19 pada sector pendidikan, karena sector ini juga sangat terdampak dengan covid 19.
Sementara itu Rita Pranawati dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mengkritisi kebijakan kemdikbud terkait Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dianggap kurang efektif.
Masyarakat mengalami keterkejutan (shock) dengan perubahan pola pembelajaran. Orang tua diharapkan bisa melakukan pendampingan dalam pross PJJ.
Kompleksitas lainnya adalah tidak semua kondisi orang tua siswa memiliki kemampuan mengakses teknologi 4.0, selain itu juga masih ada kekhawtiran orang tua terhadap penggunaan gadget pada anak karena kecanduan game dan pornografi, tapi sekarang malah dipaksa untuk terbiasa menggunakan gadget dalam proses pembelajaran.
Hasil survey dari KPAI menjelaskan bahwa ada 76,7 % siswa mengaku tidak senang dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan ada 81,8% siswa mengaku proses PJJ lebih menekankan pada pemberian tugas, PR, tanpa ada proses dialog dan menjelaskan materi, diskusi atau tanya jawab. Liburan panjang karena covid 19 semula dianggap menyenangkan, tapi karena terlalu lama membuat rasa kebosanan. Disis lain guru juga kurang bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan proses pengajaran selain juga keterbatasan dalam hal literasi digital.
Menko PMK Muhajir Effendi melihat bahwa upaya pemerintah dalam penanganan covid 19 tidak semata mata urusan ekonomi dan mengabaikan sektor lainnya. Besarnya alokasi anggaran 200 T untuk sektor ekonomi diantaranya untuk menopang sektor UMKM. Muhajir mengakui bahwa pada krisis 1997-1998, UMKM memang tangguh menghadapi badai krisis, tapi pada wabah pandemi Covid 19, sektor UMKM juga ikutan ambruk. Oleh sebab itu, pemerintah tidak ingin UMKM juiga ikutan collapse ditengah badai covid 19.
sumber rri.co.id