Angkutan Umum Ideal, Layanan dan Pembayaran Terintegrasi
Pada akhirnya masyarakat harus ‘berdamai’
dengan pandemi Covid-19 dengan menjalankan kebiasaan baru yang mengacu
pada protokol kesehatan.
Adaptasi kebiasaan baru ini juga berlaku di sarana transportasi publik, baik angkuta darat, laut maupun angkutan udara.
Dari
semua moda angkutan itu, angkutan darat seperti bus dan kereta utamanya
KRL menjadi krusial, mengingat angkutan ini yang paling banyak
digunakan sebagai moda transportasi.
Harus
diakui, kualitas layanan transportasi publik tidak merata di setiap
daerah, mengingat perusahaan jasa angkutan umum masih banyak dimiliki
perseorangan, bukan berbentuk badan usaha yang dikelola secara
profesional , seperti jasa angkutan umum Trans Jakarta yang dikelola
oleh Pemda DKI Jakarta.
Pengamat
Transportasi yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan,
di masa pandemi dan kenormalan baru seperti sekarang, integrasi sistem
transportasi makin diperlukan.
“Integrasi
angkutan umum sekarang menjadi kebutuhan, meliputi integrasi fisik,
jadwal dan sistem pembayaran, “ ujar Djoko Setijowarno menjelaskan hasil
analisa MTI terkait layanan transportasi publik di era normal baru,
Rabu (24/6/2020).
Ia menjelaskan, Integrasi fisik memungkinan penumpang berpindah antar moda transportasi dengan lebih mudah.
Integrasi
jadwal, berupa kesesuaian informasi jadwal kedatangan dan keberangkatan
angkutan umum, sehingga tidak terjadi antrian di halte atau statisun.
“Sedangkan integrasi sistem pembayaran, ini yang penting, yaitu pembayaran dengan smart-card yang memungkinkan orang melakukan pembayaran dengan menggunakan satu kartu untuk beberapa jenis layanan,” sambung Djoko.
Sistem transportasi terintegrasi itu mesti didukung dengan konsep ‘buy the service’ atau pembelian layanan.
“Prinsip
dasar program pembelian layanan adalah Pemerintah Daerah mengalokasikan
anggaran guna membeli layanan jasa angkutan yang disediakan oleh
perusahaan (bisa BUMN, BUMD, ataupun swasta) dengan kriteria tertentu
yang terlebih dahulu ditetapkan dan disepakati, kemudian pihak
perusahaan penyedia jasa menjalin kontrak kerja dengan pemerintah yang
menyediakan anggaran,” jelas Djoko
Konsep
ini sudah diadopsi oleh Trans Jakarta di Jakarta, dan sejumlah kota
lainnya seperti di Batam, Bogor (Trans Pakuan), Bandung (Trans Metro
Bandung), Yogyakarta (Trans Yogya), Semarang (Trans semarang), Surakarta
(Batik Solo Trans) dan Palembang (Trans Musi).
“Keberhasilan
konsep ini, kuncinya sangat tergantung pada kemampuan dan kemauan
masing-masing pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran, sistem
manajemen yang diterapkan,serta ada tidaknya kebijakan lain yang
mendukung penyelenggaraan angkutan umum tersebut,” pungkas Djoko.
Kebijakan
yang dimaksud, seperti menerapkan pembatasan mobilisasi kendaraan
pribadi, menaikkan tarif parkir, melarang parkir tepi jalan (on street
parking) di jalan-jalan utama, membangun jalur sepeda, menata fasilitas
pejalan kaki.
Dengan layanan angkutan
umum yang makin baik, diharapkan masyarakat tetap memiliki minat yang
tinggi untuk menggunakan transportasi publik, dan tidak beralih ke mobil
pribadi karena ingin menerapkan pembatasan sosial secara fisik.
sumber rri.co.id