Susun Kebijakan Pemerintah Juga Harus Didukung Ilmu Pengetahuan
Kebijakan publik berbasis ilmu pengetahuan dibutuhkan terutama untuk menjawab tantangan pandemi Covid-19. Tentunya dasar dari kebijakan tersebut berasal dari riset yang didukung oleh ekosistem pengetahuan dan inovasi.
Penyusunan
kebijakan pemerintah juga harus didasarkan pada ilmu pengetahuan agar
terjamin ketepatan dan kualitas kebijakan untuk masyarakat. Hal ini
dikatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(PANRB) Tjahjo Kumolo saat menjadi pembicara dalam Diskusi Kebijakan
Tiga Menteri oleh Media Katadata dengan topik Penanggulangan Covid-19
Berbasis Pengetahuan dan Inovasi, Senin (22/06).
“Sudah
saatnya dalam setiap penyusunan kebijakan harus didasarkan pada hasil
penelitian dan data-data yang valid. Hal ini akan lebih mendorong
terciptanya masyarakat yang ilmiah dan tidak memberikan ruang untuk
tersebarnya hal-hal yang bersifat bohong,” ujarnya.
Dijelaskan,
strategi teknis dan strategi budaya dalam penyusunan kebijakan
pemerintah perlu didukung dengan sinergi antara kegiatan penelitian,
pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) berbasis ilmu
alam dan Litbangjirap berbasis ilmu sosial. Ilmu pengetahuan yang
berasal dari proses Litbangjirap menghasilkan tiga dampak positif.
Pertama,
keterbukaan dan pertukaran data dan informasi antar instansi pemerintah.
Kedua, peningkatan koordinasi antarinstansi pemerintah dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Ketiga,
data yang akurat untuk menunjang semua proses pengambilan keputusan,
baik pemerintah pusat maupun daerah.
Kementerian
PANRB senantiasa mendorong aparatur sipil negara (ASN) menjalankan
peran sebagai penggerak tumbuhnya kultur pengetahuan dan inovasi serta
tata kelola riset. Tjahjo menyontohkan gerakan one agency, one innovation
yang digagas oleh Kementerian PANRB sejak tahun 2013. Gerakan ini
mendorong pimpinan instansi, khususnya kepala daerah, untuk membiasakan
aparatnya bekerja menghasilkan terobosan atau inovasi baru, serta
menghargai pencapaian yang diraih. Kementerian PANRB juga berinisiatif
untuk memberikan apresiasi bagi para inovator dalam pelayanan publik
dalam rangka penanganan Covid-19.
Meskipun
awalnya belum terbiasa, seiring berjalannya waktu gerakan ini akan
mengakar dalam organisasi sehingga menjadi budaya positif. “Pasti ada
yang merasa terpaksa, tapi lama-lama ini akan menjadi sebuah kebiasaan
yang akhirnya diharapkan menjadi sebuah budaya organisasi/lembaga yang
ada,” terangnya.
Tjahjo
mengakui, peranan pimpinan instansi sangat menentukan ekosistem
pengetahuan dan inovasi di instansi pemerintah. Peranan ini, salah
satunya dapat ditunjukkan melalui kebijakan pimpinan untuk menyertakan
indikator inovasi sebagai bagian dari penilaian kerja, baik secara
organisasi atau perorangan. Setiap unit kerja harus mampu menciptakan
inovasi sekecil apapun.
Senada
dengan Tjahjo, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan
Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro menjelaskan bahwa ilmu
pengetahuan menjadi landasan Kemenristek/BRIN dalam menyusun kebijakan.
Salah satu contohnya adalah penerapan triple helix di dalam
Konsorsium Riset dan Inovasi tentang Covid-19. Mereka menghubungkan
dunia penelitian, industri, dan pemerintah. Konsorsium tersebut memiliki
fokus untuk membantu mencegah, mendeteksi cepat Covid-19 melalui riset
dan inovasi.
Lebih
lanjut, pandemi malah memberikan hikmah tersendiri yakni mendorong
pertumbuhan ekosistem riset. Terbukti dengan meningkatnya permintaan
pasar akan inovasi. “Pandemi ini juga menunjukkan ekosistem riset yang
selama ini kita bayangkan, justru berkembang dengan baik. Sebelumnya
kita belum mempunyai produksi ventilator sendiri, pandemi ini membuat
inovasi bekerja dan menghubungkannya dengan dunia industri,” ungkap
Bambang.