Highlight

Sinyal Reshuffle Kabinet Indonesia Maju

Presiden Jokowi ingin memastikan bahwa pemerintah serius mengatasi pandemic Covid-19.
Dalam rekaman vidio Presiden Joko Widodo marah kepada anggota cabinet dalam rapat tertutup di Istana Merdeka, 18 Juni 2020, yang akhirnya dipublikasikan, karena penting diketahui khayak, pada tanggal 28 juni 2020.
Pakar Komunikasi Politik dan Direktur Eksekutif Teh Political Literacy Institut, Gun Gun Heryanto berpendapat kejadian marah presiden yang dipublikasikan tertunda bertujuan untuk ke dalam dan keluar. Apa yang disampaikan Jokowi dalam narasi maupun gesturenya ditujukan kepada menteri yang kinerja kurang bagus akan dievaluasi.
Jokowi juga menyampaikan 267 juta rakyat Indonesia mengharapkan komitmen presiden beserta jajaran cabinet serius dalam menangani pandemic Covid-19.
“Merupakan prakondisi sebelum menentukan momentum yang pas untuk melakukan reshuffle,” kata Gun Gun Heryanto yang juga mengajar Komunikasi Kebijakan Publik di Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana.
Pada periode pertama Jokowi melakukan empat kali reshuffle, yang pertama 12 Agustus 2015, kemudian 27 Juli 201610 bulan pertama setelah dilantik , dan di tahun 2018 terjadi dua kali reshuffle yaitu di bulan Januari dan Agustus.
Beberapa pos kementerian disebut seperti Kementerian Kesahatan, Sosial, pos kementerian perekonomian yang merupakan sinyal, sebagai tidak lazim dalam gaya seorang komunikasi equalitarian.
Narasi bukan hanya kata-kata, tetapi juga tindakan simbolik, dan bentuk dramaturgi, yang lumrah dalam panggung politik. Ada yang disebut panggung depan dan ada panggung belakang.
Menurut Pengajar Kebijakan Publik Universitas Mercu Buana ini yang juga Direktur Eksekutif The Poliical Literacy Institut, dramaturgi punya dimensi teatrikalnya.
Seluruh pernyataan actor politik di muka public selalu intensional, by desain dan diorientasikan pada satu tujuan tertentu.
Bagaimanapun presiden Jokowi membutuhkan dukungan public, ditengah citra dan reputasi yang terancam, ketika pandemic Covid-19 datang, pertumbuhan ekonomi turun luar biasa, diluar prediksi awal tahun. Kemudian juga, problem social, seperti PHK, pengganguran, tingkat kemiskinan yang naik, belum lagi agenda mendesak Pilkada Serentak Desember 2020 yang tertunda dari jadwal semula.
Panggung Politik Menghangat.
Komunikasi politik Jokowi yang secara terbuka mengkritik kinerja para menterinya di Kabinet Indonesia Maju. Pernyataan keras, pedas, dan eksplisit dikuatkan dengan gestur ekspresif menandai Jokowi sedang tidak happy!
Indikator komunikasi Jokowi memiliki intensi terlihat dari proses diseminasi pidatonya ke khalayak luas, melalui seleksi informasi oleh para gatekeeper di istana. Jokowi berpidato pada Kamis, 18 Juni dan ramai publikasi informasi pada Minggu, 28 Juni 2020. Artinya, memang informasi itu disengaja istana sebagai pemantik diskursus publik.
Jika menelaah narasi komunikasinya, pesan tersusun membentuk tiga gugusan utama. Pertama ketidakpuasan Presiden atas kinerja para menteri di tengah krisis pandemi covid-19. Kedua, penekanan pada perlunya langkah tidak biasa atau extraordinary dalam konteks manajemen krisis. Ketiga, kemungkinan sanksi bagi mereka yang berkinerja buruk dengan penekanan pada terbukanya opsi reshuffle, atau bahkan pembubaran lembaga instansi yang dianggap tidak memiliki performa bagus.
Benang merah dari ketiganya bermuara pada kejengkelan yang diekspresikan secara budaya komunikasi konteks rendah (low context culture), untuk mengirim sinyal komunikasi lebih jelas, eksplisit dan langsung dipahami.
Makna Peristiwa Jokowi Marah.
Ada dua makna dari peristiwa ini, yakni makna ke dalam dan ke luar. Makna ke dalam terhubung dengan cara Jokowi mengefektifkan kembali rentang kendali atas kinerja para menteri. Presiden tampak secara demonstratif ingin memastikan bahwa dirinya memiliki otoritas penuh dan berada di puncak hierarki birokrasi. Rentang kendali ini indikatornya terlihat dari beberapa kali Jokowi menyebutkan, jika diperlukan, dirinya akan mengeluarkan perppu dan peraturan lainnya.
Selain juga menyebutkan, beberapa evaluasi atas pos-pos kementerian yang dianggapnya belum optimal dalam menangani krisis covid-19.Jokowi menyebut Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, beberapa pos di Kementerian Perekonomian. Indikator lainnya tentu saja ancaman reshuffle yang menjadi hak prerogatif presiden.
Makna ke luar terhubung dengan persuasi ke publik terutama di tengah deraan pandemi. Konstruksi realitas simbolis yang disajikan terhubung dengan keseriusan Presiden dalam memastikan bahwa kabinetnya berkomitmen untuk membenahi kekurangan dengan mengevaluasi kinerja para menteri. Paling tidak, pesan itu diharapkan menjadi manajemen pengelolaan kesan (impression management) yang bisa menjembatani Jokowi dengan harapan publik yang tinggi akan hadirnya negara, dalam hal ini pemerintah, untuk mengatasi pandemi.
Reshuffle, mungkinkah?
Sinyal komunikasi Jokowi tentu menjadi sangat politis. Terutama saat dihubungkan banyak pihak, khususnya media massa, dengan kemungkinan perombakan Kabinet Indonesia Maju. Ada dua peluang yang sama besarnya dalam membaca kemungkinan reshuffle. Peluang pertama, pernyataan ini bisa dimaknai sebagai prakondisi atau sebut saja uji reaksi (testing the water), dari para menteri dan juga publik. Presiden Jokowi diasumsikan sudah memiliki data, masukan, dan pertimbangan mengenai kinerja para menterinya. Namun, sangat mungkin jikapun ada perombakan, sepertinya tidak di bulan ini mengingat mengganti menteri di tengah pandemi juga bisa jadi bukan menyelesaikan masalah, bahkan bisa menimbulkan masalah baru.
Peluang kedua, Jokowi memang berniat merombak para menterinya dalam waktu dekat. Jokowi dalam pidatonya eksplisit menyatakan membuka peluang reshuffle bahkan pembubaran institusi. Sinyal komunikasinya ialah Jokowi bisa mengambil cara-cara yang tidak biasa dalam konteks manajemen krisis. Jika melihat pola periode pertama, sangat mungkin sekali Jokowi juga merombak kabinetnya sebelum genap satu tahun. Bagi publik, sebenarnya yang terpenting ialah perbaikan kinerja pemerintah secara signifi kan. Perombakan sendiri kerap dipersepsikan elitis. Jikapun tetap mau dilakukan, bukan semata menjawab 'reshuffle untuk siapa?', melainkan 'untuk apa?'.
Pandemi menuntut akselerasi kinerja para menteri dalam arus besar penanggulangan masalah yang dipimpin Presiden. Jika perombakan sekadar tambal sulam, ada baiknya Presiden memprioritaskan hal lain daripada menimbulkan kegaduhan.
sumber rri.co.id