Industri Kontekstual Masyarakat
Pemerintah mengalokasikan triliunan rupiah untuk program bantuan bagi masyarakat di masa pandemi. Dilihat dari nominalnya, fungsi bantuan itu hanya dapat membuat masyarakat sejenak bertahan hidup, punya harapan dapat bekerja kembali atau menjadi pelaku usaha mikro. Masalahnya, di mana orang bisa mendapat pekerjaan dan usaha apa yang dapat dilakukan dengan modal terbatas?
SMRC mencatat sekitar 29 juta orang mengalami PHK, restrukturisasi UMKM mencapai 550 triliun. Asian Development Bank menemukan hampir 30 juta UMKM berhenti total. Sisanya, 34 juta UMKM bersaing ketat dengan para pelaku usaha baru, terutama bidang kuliner.
Teori John Maynard Keynes tentang keharusan campur tangan Pemerintah untuk memperbaiki ekonomi. Caranya: peningkatan suplai uang dan belanja oleh pemerintah. Dalam konteks persiapan menghadapi kelangkaan pangan, teori ini dapat kita lengkapi dengan pembangunan industri olah pangan.
Industri pengolahan pangan adalah prasyarat untuk bangkitnya industri bidang lainnya. Saat ini, peran pengembangan industri pangan hanya kontekstual jika dilakukan oleh Negara atau para pemilik modal besar, bukan oleh individu, UMKM atau skala mikro pada umumnya.
Kelemahan sistem ekonomi berbasis kelompok, baik kekerabatan, adat atau komunitas pada umumnya adalah ketiadaan rasa percaya pada pihak lain, ketiadaan fasilitas serta profesional kerja. Banyak koperasi atau usaha bersama yang berantakan karena ketidakjujuran pengurus atau anggota kelompok.
Industri pangan idealnya dibangun di sentra penghasil bahan baku pangan, lokasi industri menyebar di perdesaan di Kota Kabupaten, atau setidaknya Pemerintah mengembangkan sistem inkubator yang profesional dan kontekstual bagi masyarakat. (Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM No. 81.3/Kep/M.KUKM/VIII/2002).
Aturan terkait pelaku usaha sangat membatasi gerak. Misal untuk UMKM terdapat pembatasan pemberian rekomendasi oleh RT/RW hanya untuk orang yang berdomisili di tempat usaha di wilayahnya.
Aturan ini menutup kemungkinan untuk berusaha dengan perijinan yang lengkap bagi sebagian orang yang tinggal di perumahan atau tinggal di luar wilayah usaha yang sedang atau akan digeluti. Itu baru soal rekomendasi berusaha, belum termasuk proses pendirian usaha, perpajakan, pengurusan PIRT, BPOM, Logo Halal MUI, Sertifikat Organik dan deretan panjang birokrasi yang harus dipenuhi.