Highlight

CELAH PENILAIAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL

Selasa, 21 Januari 2020 - 


Celah Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional
 
Pendahuluan
Representasi kinerja pemangku jabatan fungsional adalah angka kredit (AK). AK dapat digunakan untuk pembinaan karier seorang PNS apabila sudah ditetapkan dalam bentuk penetapan angka kredit oleh pejabat yang berwenang menetapkan AK, yang lazim disebut dengan PAK.

PAK diperoleh setelah melalui serangkaian mekanisme pengusulan yang diawali dengan dokumen yang dikemas sebagai Daftar Usul Penetapan Angka Kredit (DUPAK). DUPAK sendiri merupakan serangkaian dokumen-dokumen yang menunjukkan kegiatan-kegiatan pemangku jabatan fungsional yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu yang disebut sebagai masa penilaian.

Dokumen dalam DUPAK ini akan diverifikasi oleh Tim Penilai sebelum akhirnya ditetapkan sebagai PAK oleh pejabat yang berwenang. Pengakuan oleh Tim Penilai atas kegiatan yang dilakukan oleh pemangku jabatan fungsional ini perlu dukungan dokumen yang relevan. Dokumen pendukung inti DUPAK ini biasanya terdiri dari surat pernyataan melaksanakan kegiatan (SPMK), surat perintah/surat penugasan, surat penugasan limpah, dan bukti fisik.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa AK dapat digunakan untuk pembinaan karier, baik karier kepangkatan maupun jabatannya. Semakin tinggi pangkat dan jabatannya, maka semakin tinggi pula kompensasi finansialnya. Percepatan pangkat dan jabatan bagi pemangku jabatan fungsional dimaknai dengan perolehan AK sebanyak-banyaknya. Demi mendapatkan AK sebanyak-banyaknya tersebut, pemangku jabatan fungsional berpotensi mencari celah dalam penyusunan DUPAK, dengan berperilaku kurang terpuji, kurang jujur/kurang fair, melakukan rekayasa manipulatif, kurang etis dan tidak profesional.

Penilaian Angka Kredit
Sistem pengajuan DUPAK dilakukan secara manual maupun secara online. Pengajuan DUPAK secara manual dilakukan dengan melampirkan dokumen fisik. Sedang pengajuan DUPAK secara online menggunakan aplikasi e-DUPAK dengan cara mengunggah dokumen tanpa harus melampirkan dokumen fisik, kecuali dokumen fisik tertentu tetap masih harus dilampirkan.

Inti pengajuan DUPAK adalah meyakinkan kepada Tim Penilai bahwa kegiatan yang dilakukan benar-benar dilakukan oleh pemangku jabatan fungsional yang bersangkutan dengan tujuan untuk mendapatkan AK yang kemudian ditetapkan dalam PAK oleh pejabat yang berwenang.

Jadi yang paling menentukan dalam penilaian AK adalah kelengkapan dokumen DUPAK dan peran Tim Penilai AK. Dokumen DUPAK sebagai bahan verifikasi, dan Tim Penilai AK sebagai verifikatornya sekaligus menentukan besaran nilai AK yang disetujui.

Bahan verifikasi tersebut berupa: lembaran DUPAK, SPMK, surat perintah/surat penugasan, surat penugasan limpah, bukti fisik, dan kelengkapan administrasi lainnya seperti PAK terakhir, SK kenaikan pangkat/jabatan terakhir, dan sebagainya.

Dalam proses verifikasi dokumen DUPAK ini, Tim Penilai AK harus jeli dan teliti agar tidak terjebak oleh permainan manipulasi pengusul, karena nantinya hasil penilaian yang dituangkan dalam PAK bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat lagi oleh pengusul. Dokumen DUPAK sebagai bahan verifikasi yang rentan terhadap praktek kurang profesional dari pemangku jabatan fungsional adalah SPMK yang didukung dengan bukti fisik.

SPMK merupakan jaminan dari atasan langsung bahwa kegiatan yang dilakukan oleh pemangku jabatan fungsional adalah benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan cara membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk pengesahan. Meskipun kegiatan yang dilakukan telah disahkan oleh atasan langsung yang bertindak sebagai verifikator awal di lapangan, namun apakah dalam kenyataannya benar-benar mencerminkan hal sesungguhnya? Jawabannya mungkin bisa YA atau TIDAK.

Berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi anggota Tim Penilai AK, dijumpai bahwa SPMK ditandatangani oleh atasan langsung, namun dari atasan langsung atau pengelola kepegawaian yang mewakili pejabat pengusul melaporkan bahwa  apa yang tertera dalam SPMK tidak seperti pada kenyataannya. Faktanya output yang dihasilkan dalam pekerjaan tidak sebanyak seperti yang tertera di dalam SPMK, atau pemangku jabatan fungsional mengklaim pekerjaan yang sebenarnya tidak dilakukan tetapi dimasukkan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pejabat fungsional, atau pekerjaan yang dilakukan secara Tim Kerja namun diklaim seolah-olah kegiatan dilakukan sendiri oleh pemangku jabatan fungsional yang bersangkutan.

Hal ini dimungkinkan karena atasan langsungnya tidak berani bertindak tegas atau merasa sungkan kepada pejabat fungsional yang bersangkutan, atau penandatanganan dilakukan dalam situasi yang kurang kondusif. Situasi kurang kondusif yang dimaksud di sini adalah penandatanganan dilakukan dalam situasi terburu-buru yang boleh jadi telah dikondisikan oleh pemangku jabatan agar atasan langsung tidak berkesempatan melakukan check and recheck terhadap output pekerjaan yang dihasilkan. Artinya bagi Tim Penilai Angka Kredit, surat pernyataan melaksanakan kegiatan tidak sepenuhnya bisa dijadikan jaminan keabsahan kegiatan pemangku jabatan fungsional yang menghasilkan output.

Hal tidak kalah pentingnya dalam pengajuan DUPAK adalah bukti fisik. Bukti fisik adalah output yang dihasilkan dari sebuah butir kegiatan/pekerjaan, atau bukti yang disyaratkan dalam mekanisme pengajuan DUPAK, untuk meyakinkan kepada Tim Penilai AK bahwa kegiatan yang dilakukan oleh pemangku jabatan fungsional benar-benar dilakukan dan menghasilkan output yang bisa dikonversi menjadi AK.

Tim Penilai AK kembali dituntut kejeliannya untuk memverifikasi bukti fisik. Apakah bukti fisik yang bersangkutan merupakan bukti yang disyaratkan untuk dilampirkan dalam petunjuk teknis atau bukan? Apakah bukti fisik tersebut cukup meyakinkan untuk diklaim sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemangku jabatan fungsional yang mengusulkan atau tidak? Apakah bukti fisik tersebut sebagai output yang dihasilkan dari kegiatan Tim Kerja atau individu?

Apabila bukan merupakan bukti fisik yang disyaratkan untuk dilampirkan dalam pengajuan DUPAK sebagaimana diatur dalam petunjuk teknis jabatan fungsional yang bersangkutan, Tim Penilai AK berhak untuk tidak memberikan nilai AK.

Apabila bukti fisik tidak cukup kuat dan meyakinkan untuk diklaim sebagai kegiatan yang dilakukan, meskipun sudah sesuai dengan bukti yang dipersyaratkan, Tim Penilai AK memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan lain. Boleh jadi bukti fisik tersebut merupakan hasil output dari kegiatan yang dilakukan oleh orang lain tetapi diklaim  sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pejabat fungsional pengusul. Boleh jadi mekanisme penyertaan bukti fisik seperti ini merupakan kelemahan dalam pengaturan petunjuk teknisnya, sehingga bisa dijadikan celah yang bisa dimanfaatkan oleh pemangku jabatan fungsional secara tidak profesional dalam pengajuan DUPAK. Solusi atas permasalahan ini mungkin bisa diinisiasi oleh pejabat fungsional pengusul sendiri untuk menyertakan bukti tambahan yang meyakinkan dan menguatkan bahwa pekerjaan yang bersangktan benar-benar dilakukan oleh pejabat fungsional yang bersangkutan.

Selanjutnya apabila suatu kegiatan pekerjaan diselesaikan oleh Tim Kerja, tentunya Tim Penilai AK di dalam memberikan AK tidak utuh 100% diberikan kepada pejabat fungsional pengusul, tetapi dibagi secara proporsional jumlah anggota Tim Kerja, meskipun anggota yang lain bukan merupakan pejabat fungsional. Secara teoritis hal ini akan menjadi lebih bernilai adil secara proporsional, meskipun secara de facto pejabat fungsional yang bersangkutan sendiri yang melakukan kegiatan tersebut.

Akhirnya dalam mekanisme pengajuan dan penilaian DUPAK menjadi PAK ini peran Tim Penilai AK sangat sentral dan mempunyai kewenangan dalam mempertimbangkan dan memberikan penilaian AK. Oleh karena hasil penilaian bersifat final, maka sebagai bentuk akuntabilitas, apabila terdapat ketidaksesuaian antara jumlah AK dalam usulan dan dalampenilaian, maka perlu diberikan alasan atau penjelasan perihal ketidaksesuaian tersebut.

Penutup 
Berdasarkan paparan di atas, bahwa untuk meminimalisasi praktek kecurangan profesionalitas pejabat fungsional dalam penilaian proses penilaian AK, penulis rekomendasikan sebagai berikut:
a.    perlu adanya sistem yang lebih ketat lagi dalam pembuktian kinerja pejabat fungsional dalam bentuk bukti fisik, dan bila perlu ada bukti tambahan yang benar-benar meyakinkan, baik dengan sistem manual ataupun dengan sistem aplikasi;
b.    atasan langsung sebagai verifikator lapangan hendaknya berani bersikap tegas dan tidak mentolerir praktek yang tidak profesional pemangku jabatan fungsional dengan melakukan verifikasi dan validasi ulang, serta tidak membubuhkan tanda tangan pada SPMK yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;
c.    perlunya segera ditetapkan kode etik profesi bagi jabatan fungsional yang belum memiliki kode etik, untuk menjadi pedoman etik bagi pejabat fungsional.
Akhirnya penulis berharap agar segera bisa terwujud pejabat fungsional, yang tidak semata-mata hanya mengejar karier pangkat dan jabatan saja dalam tempo yang sesingkat-singkatnya melalui praktek yang kurang etis, tetapi akan lebih mulia dan terhormat apabila lebih mengedepankan profesionalisme.
 
 
Ditulis Oleh: SukisnaAnalis Kepegawaian Ahli Madya Kanreg I BKN Yogyakarta