Highlight

Keterlibatan TNI Disebut Bikin Teroris Ngeri

Silang pendapat rencana pemerintah melibatkan TNI menangani terorisme dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terus bergulir.
Menanggapi itu, Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan Partai NasDem Mayor Jenderal TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra menyatakan, justru para mantan teroris banyak menanggapi positif keterlibatan TNI karena akan memberikan efek gentar atau penangkal.
"Masih komunikasi dengan mantan teroris, kata mereka, wah kami tambah ngeri kalau TNI dilibatkan, mereka salut, setuju," kata Supiadin pada rri.co.id, Kamis (21/5/2020).
Supiadin mengatakan, arti efek gentar prihal pemberantasan terorisme penting. Sebagaimana secara umum efek gentar keamanan dinilai juga perlu dibangkitkan lagi karena mempengaruhi politik luar negeri.
Dijelaskan, sebagaimana pada era Presiden Soeharto banyak negara segan karena mengetahui kekuatan keamanan TNI saat itu maksimal ditunjang dengan peralatan tempur dimiliki. Ini membuat Indonesia kala itu dengan mudah diterima sebagai pemimpin di ASEAN.
"Saat ini strategi Menhan Prabowo secara umum sudah mengarah pada penguatan efek gentar itu, dengan misalnya membeli alutsista modern entah pesawat tempur, kapal, dan lainnya. Jadi negara ini akan disegani negara lain jika tentaranya kuat," kata Supiadin.
Lebih lanjut, Supiadin menyatakan, ada kesalahan persepsi bahwa keterlibatan TNI dalam upaya memberantas terorisme tidak sesuai dengan era reformasi. Terlebih lagi, kata mantan Pangdam Aceh ini, ada potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bila TNI dilibatkan.
"Justru TNI benar-benar menegakkan HAM. Teroris bersenjata menyerang disikat, kalau tidak perlu ya cukup diamankan," kata Supiadin.
"Kami 3 tahun bertugas mengawal pemulihan Aceh tidak pernah kasar, sejahat-jahatnya GAM, pemberontak itu luluhnya dengan pendekatan hati, sampai sekarang pendekatan kami lakukan terbukti berhasil tidak ada lagi suara minta merdeka lagi, bahkan ada yang teriak merdeka dimarahi sesama pentolan GAM sendiri," tegas Supiadin.
Kesalahan persepsi lainnya, kata Supiadin, tentang peran TNI sebenarnya telah diatur sejak lama, dimandatkan negara untuk memberantas terorisme sebagaimana tertuang dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004 pasal 7.
"Jadi keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme secara hukum sah, karena sudah diatur dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2 itu tentang 14 tugas TNI di luar perang. Kalau pasal 7 ayat 1 mengatur tugas TNI dalam rangka perang," terangnya. 
"Nah pada pasal 2 tugas TNI di luar perang tepatnya 2A tugas TNI mengatasi separatisme, kedua mengatasi pemberontakan bersenjata, nah yang ketiga mengatasi aksi terorisme. Sampai ada juga poin membantu penanggulangan bencana dan membantu Kamtibmas," imbuhnya.
Dikatakan, perlu diketahui pula bahwa TNI telah memiliki pasukan khusus menangani terorisme yakni Detasemen Khusus 81 Kopassus, jauh sebelum Polri membentuk Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Pada 28 Maret 1982, lanjutnya, Detasemen Khusus 81 terbukti berhasil melaksanakan operasi pembebasan sandera di atas pesawat DC-9 Garuda Woyla, di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Karena itu, ujar Supiadin, peran TNI dalam penanganan terorisme penting, mengingat kewenangannya luas bersifat pendekatan keamanan negara sehingga dapat bertindak di negara lain, berbeda dengan peran Polri khusus dalam negeri. 
Dijelaskan, untuk penanganan teroris di dalam negeri peran TNI hanya pada unsur intelijen dan penindakan. Selanjutnya, proses hukum tetap diserahkan pada Polri.
"Kita kan tidak tahu bahaya teroris ini bisa datang setiap saat. Nah kenapa TNI harus disiapkan untuk mengantisipasi jika terorisme terjadi di luar negeri menimpa KBRI kita misalnya, hanya TNI yang boleh," ujar mantan Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme DPR RI ini.
"Tapi ketika ancaman terorisme itu terjadi terhadap pembajakan pesawat udara, pembajakan kapal di lautan, kemudian serangan mengancam obyek strategis contohnya istana presiden wakil presiden, atau kedutaan besar asing, itu tanggung jawab TNI, karena itu bukan ancaman Kamtibmas melainkan ancaman keamanan negara," jelasnya.
Bukan Kriminal Biasa 
Menurut Supiadin, terorisme bukanlah aksi kriminal biasa melainkan bertujuan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Arti kriminal biasa, lanjutnya, kecemasan tidak begitu berdampak luas ke daerah lain bahkan tingkat dunia. Sehingga aksi terorisme dimaknai mengancam keamanan negara memungkinkan TNI terlibat.
Karena itu, sambungnya, dalam mengatasi aksi terorisme, TNI dapat diperbantukan dan berperan sebagai penindak atas permintaan Polri.
Disisi lain, TNI juga dapat bertindak langsung mengatasi aksi terorisme sesuai perkembangan situasi dan atas perintah Presiden.
"Jangan lupa ancamanannya bukan terhadap Kamtibmas, target mereka menegakkan negara Islam, jadi teroris bukan kriminal biasa, lebih menimbulkan ketakutan massal," tuntasnya.
sumber rri.co.id