Pengaturan Jabatan Fungsional: Konvensional Versus Konversi
Jabatan fungsional tertentu (JFT) merupakan jabatan
yang lagi naik daun. Ditengah banyaknya slot jabatan struktural, tidak
jarang para pegawai lebih memilih menjadi pejabat JFT. Selain aspek
kemandirian, porsi beban tanggungjawab yang dianggap lebih ringan, juga
tingkat penghargaan yang semakin baik. Bahkan, ada yang menilai JFT
secara pendapatan hampir setara dengan jabatan struktural. Semisal JFT
Madya, secara umum memiliki tingkat kelas jabatan yang hampir sama
dengan Eselon III, juga JFT Muda setingkat level kelas jabatannya dengan
Eselon IV.
Dari waktu ke waktu, pemerintah telah menyempurnakan
pengaturan JFT dengan menerbitkan peraturan terbaru sesuai dengan
dinamika JFT masing-masing. Yang paling ditunggu-tunggu adalah perubahan
Peraturan Presiden (Perpres) dimana disanalah tertuang kebijakan
mengenai kenaikan tunjangan jabatan fungsional. Pada pengaturan beberapa
JFT yang terbaru (revisi), tingkat tunjangan jabatan sudah mengakomodir
jumlah yang cukup tinggi, bahkan melebihi tunjangan struktural baik
Eselon III maupun IV.
Selain aspek tunjangan dan pengaturan pola kerja JFT,
belakangan juga muncul dualisme pengaturan JFT antara mekanisme lama
dengan yang baru khususnya terkait angka kredit. Angka kredit menjadi
salah satu unsur yang krusial untuk proses kenaikan pangkat maupun
jabatan pejabat JFT. Dualisme pola penetapan angka kredit ini ialah
mekanisme sistem lama (disebut konvensional) dan sistem baru (disebut
konversi). Tren yang berjalan, terdapat kecenderungan semua JFT akan
diarahkan menuju pola penilaian konversi. Beberapa JFT yang instansi
pembinanya progressif telah memperbarui aturan JFT-nya dengan
mengakomodir ketentuan konversi. Sementara JFT yang belum, dimungkinkan
memang belum ada usulan/kajian revisi sehingga masih menggunakan pola
sistem konvensional.
Bagaimana sebenarnya mekanisme dari sistem konversi
ini? Prinsip dari sistem konversi ini titik beratnya pada proses
pengambilan nilai angka kredit yang diambilkan dari nilai capaian
Sasaran Kerja Pegawai (SKP). Pada sistem sebelumnya (konvensional),
nilai angka kredit JFT diperoleh dari capaian butir-butir kegiatan yang
telah dikerjakan dan dilaporkan melalui Daftar Usul Penilaian Angka
Kredit (Dupak). Sekilas memang pola konversi tidak mensyaratkan dalam
penyusunan Dupak melainkan hanya akan diambilkan dari nilai SKP ditahun
berjalan. Meskipun, dalam case tertentu tim penilai dapat meminta bukti
fisik kegiatan untuk memperkuat dalam proses penilaian konversi.
Pada sistem konversi, SKP menjadi aspek penting dan
menentukan karena akan menjadi titik acuan penilaian angka kredit (PAK).
SKP merupakan target kinerja berdasarkan penetapan kinerja unit kerja.
SKP untuk masing-masing jenjang jabatan fungsional diambil dari uraian
kegiatan tugas jabatan sebagai turunan dari penetapan kinerja unit
kerja. Selain tugas pokok ke-JFT-an, pejabat JFT juga dapat diberikan
tugas tambahan oleh pimpinan unit kerja berdasarkan penetapan kinerja.
Mekanisme Penilaian Konversi
SKP memiliki peran sentral bagi angka kredit, maka
penentuan kriteria dalam menyusun SKP JFT setiap tahun juga diatur
dengan batasan dan target. Setiap tahun bagi pejabat JFT wajib menyusun
SKP paling sedikit 12,5 untuk JFT jenjang Ahli Pertama, 25 untuk JFT
jenjang Ahli Muda, 37,5 untuk JFT jenjang Ahli Madya, dan 50 untuk JFT
jenjang Ahli Utama. Hal ini berbeda dengan mekanisme lama yang tidak
mengatur secara detil perihal jumlah target angka kredit yang harus
dicapai setiap tahunnya.
sumber http://kanreg1bkn.id