Highlight

Purapuramologi

Demi mengisi waktu terpaksa bertapa di dalam rumah gegara pageblug Corona. Saya mencoba mempelajari purapuramologi.
Jangan gelincirkan definisi purapuramologi menjadi ilmu membuat pura-pura.
Sama halnya kelirumologi bukan ilmu bikin keliru tetapi sekedar upaya mempelajari kekeliruan maka purapuramologi juga bukan ilmu berpura-pura tetapi sekedar upaya mempelajari fenomena pura-pura.
Semula saya pura-pura tidak tertarik pada kata pura-pura. Namun kemudian saya tidak tahan berpura-pura sebab sebenarnya sangat tertarik pada kata pura-pura.
Bagi saya, kata pura-pura memang menarik ditelaah secara semantikal baik sebagai adverbial yang memberikan keterangan kepada kata lain mau pun sebagai kata yang mempluralkan kata dasar dirinya sendiri.
PURA-PURA
Menurut KBBI , kata pura-pura bermakna “tidak sesungguhnya” semisal dalam kalimat kamu jangan pura-pura tidak tahu.
Sebagai verbal kata pura-pura bermakna “tampak berbuat, bekerja, melakukan dan sebagainya, tetapi sebenarnya tidak berbuat atau tidak berniat berbuat ; berbuat seolah-olah ; berlagak” seperti dalam kalimat untuk mengelabui musuhnya, dia pura-pura mati.
Sementara sebagai kata benda kepura-puraan bermakna “perbuatan bersifat pura-pura” atau “kemunafikan” seperti dalam kalimat aku ingin mengungkapkan segala kepura-puraan yang dilakukannya.
Masalah makna menjadi makin rumit apabila pura-pura digunakan untuk memberikan keterangan pada pura-pura menjadi pura-pura pura-pura.
PURA
Makin menarik bahwa kata dasar pura-pura adalah pura yang ternyata memiliki beraneka-ragam makna saling beda satu dengan lain-lainnya.
Misalnya pundi-pundi terbuat dari kain ; kantong; dompet. Atau di ranah ekonomi, pura bisa bermakna bursa.
Pura juga berarti negeri atau kota seperti Singapura atau Jayapura. Umat Hindu Dharma juga menyebut tempat beribadah mereka sebagai pura.
Maka sebagai kata benda, kata pura-pura bisa bermakna pundi-pundi, bursa-bursa, negeri-negeri, kota-kota atau tempat ibadah berjumlah lebih dari satu.
PSIKO SOSIAL
Perilaku pura-pura berperan cukup signifikan di ranah psiko-sosial manusia. Pada dasarnya pura-pura dalam makna kemunafikan jelas buruk.
Namun pada kenyataan kehidupan sosio-politik, tata krama kerap memaksa manusia berperilaku pura-pura.
Misalnya demi menyelamatkan diri seperti dalam menghadapi sekelompok musuh yang terlalu kuat untuk kita lawan, lebih aman kita pura-pura mati sebelum kabur menyelamatkan diri jika sang musuh sudah jauh dari diri kita.
Pura-pura mati merupakan perilaku satwa yang ampuh untuk menyelamatkan diri dari predator.
Meski pura-pura hidup jelas lebih sulit dilakukan mahluk yang sudah mati ketimbang pura-pura mati yang dilakukan mahluk yang masih hidup.
Pura-pura juga secara sopan-santun perlu demi tidak melukai perasaan orang lain. Terutama terhadap penguasa yang berkuasa menyelakakan diri kita sendiri, lebih aman kita pura-pura setuju terhadap apa pun yang dilakukan dan diucapkan sang penguasa.
Memang munafik. Namun jauh lebih aman dianggap munafik ketimbang konyol menyelakakan diri kita sendiri.
Maka jika harimau berkeyakinan bahwa 2+2=5 , adalah jauh lebih aman apabila pelanduk meski tahu bahwa sebenarnya 2+2=4 sebaiknya pura-pura ikut keliru bilang bahwa 2+2=5 . Kecuali sang pelanduk mau bunuh diri.
Namun pada hakikatnya tidak semua pura-pura buruk seperti misalnya pura-pura korupsi jelas jauh lebih baik ketimbang pura-pura tidak korupsi.
BUKAN ANJURAN
Pada hakikatnya kemunafikan pura-pura seirama-senada dengan penyadaran (bukan anjuran) Ahmad Albar bersama God Bless tentang fakta bahwa “Dunia Ini Panggung Sandiwara” selaras sabda William Shakespeare melalui monolog melankolis tokoh Jacques dalam komedi pastoral “As You Like It” bahwa “The World is a Stage“.
Di panggung sandiwara politik, aneka ragam pura-pura memang merajalela seperti pura-pura peduli nasib rakyat, pura-pura lebih cinta negara ketimbang parpol, pura-pura tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri, pura-pura tidak ingkar janji atau yang paling berbahaya adalah pura-pura tidak korupsi.
Ketimbang pura-pura tidak takut dilaporkan ke polisi, maka lebih aman saya benar-benar berhenti menulis naskah ini sampai di sini saja.
Apalagi saya teringat kisah seorang hakim sedang membaca sebuah naskah perkara sambil tertawa terpingkal-pingkal maka seorang jaksa bertanya “Kamu sedang baca apa kok tertawa terpingkal-pingkal begitu ?.
Sambil tetap tertawa, sang hakim menjawab “Saya sedang baca naskah lucu banget!”.
Sang jaksa penasaran “Boleh saya ikut membaca?”.
Mendadak sang hakim berhenti tertawa lalu tegas menjawab “Jangan ! Barusan tadi saya menjatuhkan vonis penjara dua setengah tahun kepada penulis naskah lucu banget ini!”
sumber rri.co.id