UU Keolahragaan Penting Untuk Direvisi
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Maya Rumantir meminta agar
adanya revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional (SKN).
Maya menilai revisi UU SKN itu agar membaiknya prestasi olahraga nasional, pemerintah daerah dalam rancangan revisi UU tersebut juga diberikan peran yang lebih luas terkait upaya penyelenggaraan olahraga di wilayah masing-masing.
"Tentu saja semua itu melibatkan masyarakat olahraga setempat yang dilakukan bekerjasama dengan pemerintah pusat, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Makanya kami meminta masukan dari unsur pemerintahan, pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat olah raga di daerah-daerah terkait revisi ini," kata Maya Rumantir saat seminar uji sahih Naskah Akademik dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang SKN, Serang (7/7/2020).
Maya melanjutkan, peran daerah tersebut, antara lain tercantum dalam Pasal 59 dan 60 rancangan revisi UU SKN. Sebutlah dalam pasal 59 ayat kedua, yang menyatakan bahwa kerjasama tersebut dilakukan dengan memperhatikan tujuan keolahragaan nasional dan prinsip keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Pentingnya revisi UU SKN tersersebut, lanjutMaya Rumantir, sudah menjadi tuntutan secara merata di seluruh daerah. Sebab, UU tersebut selama ini belum mampu mencapai aspek tujuan keolahragaan sebagaimana yang diharapkan. UU ini juga dinilai belum menciptakan partisipasi atau budaya olahraga bagi masyarakat Indonesia.
Sejak diberlakukan pada 2005, UU SKN belum berhasil memicu animo masyarakat untuk sadar berolahraga. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2018, hanya 35,7 persen dari toral rakyat Indonesia yang berolahraga. begitu pula dengan alokasi anggaran untuk pembangunan olahraga yang jumlahnya sangat kecil sehingga tidak sebanding dengan tuntutan untuk menghasilkan atlet berprestasi.
Menurut Maya Rumantir, pengelolaan keolahragaan nasional juga berjalan kurang lancar menyusul terjadinya kisruh antara Komite Olahraga Nasional (KONI) dan Komite Olahraga Indonesia (KOI) dalam 15 tahun terakhir. “KONI dan KOI seharusnya bekerja sama demi kemajuan olahraga nasional," ujarnya. Konflik antara KONI dan KOI sendiri berakar dari kewenangan kedua organisasi tersebut, berdasarkan UU SKN. KONI bertanggung jawab pada pembinaan atlet sedangkan KOI menangani atlet yang akan berlaga di luar negeri.
"Pasti (konflik KONI dan KOI) akan ada solusinya, karena bagaimanapun revisi UU SKN ini bertujuan demi kemaslahatan dunia olah raga kita. Demi mendapatkan solusi yang terbaik, KONI dan KOI bisa duduk bersama untuk bertukar pikiran terkait upaya Komite III DPD RI mendapatkan masukan terkait revisi UU SKN," tambah Maya Rumantir.
Senada itu, Ketua Umum KONI Banten, Brigjen Pol (Purn) Rumiah Kartoredjo dalam sambutannya menyatakan, perlu terjalin harmonisasi antara semua pemangku kepentingan maupun masyarakat olahraga nasional dalam upaya peningkatan kualitas keolahragaan nasional terkait revisi UU tersebut.
Maya menilai revisi UU SKN itu agar membaiknya prestasi olahraga nasional, pemerintah daerah dalam rancangan revisi UU tersebut juga diberikan peran yang lebih luas terkait upaya penyelenggaraan olahraga di wilayah masing-masing.
"Tentu saja semua itu melibatkan masyarakat olahraga setempat yang dilakukan bekerjasama dengan pemerintah pusat, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Makanya kami meminta masukan dari unsur pemerintahan, pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat olah raga di daerah-daerah terkait revisi ini," kata Maya Rumantir saat seminar uji sahih Naskah Akademik dan Draft Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang SKN, Serang (7/7/2020).
Maya melanjutkan, peran daerah tersebut, antara lain tercantum dalam Pasal 59 dan 60 rancangan revisi UU SKN. Sebutlah dalam pasal 59 ayat kedua, yang menyatakan bahwa kerjasama tersebut dilakukan dengan memperhatikan tujuan keolahragaan nasional dan prinsip keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Pentingnya revisi UU SKN tersersebut, lanjutMaya Rumantir, sudah menjadi tuntutan secara merata di seluruh daerah. Sebab, UU tersebut selama ini belum mampu mencapai aspek tujuan keolahragaan sebagaimana yang diharapkan. UU ini juga dinilai belum menciptakan partisipasi atau budaya olahraga bagi masyarakat Indonesia.
Sejak diberlakukan pada 2005, UU SKN belum berhasil memicu animo masyarakat untuk sadar berolahraga. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2018, hanya 35,7 persen dari toral rakyat Indonesia yang berolahraga. begitu pula dengan alokasi anggaran untuk pembangunan olahraga yang jumlahnya sangat kecil sehingga tidak sebanding dengan tuntutan untuk menghasilkan atlet berprestasi.
Menurut Maya Rumantir, pengelolaan keolahragaan nasional juga berjalan kurang lancar menyusul terjadinya kisruh antara Komite Olahraga Nasional (KONI) dan Komite Olahraga Indonesia (KOI) dalam 15 tahun terakhir. “KONI dan KOI seharusnya bekerja sama demi kemajuan olahraga nasional," ujarnya. Konflik antara KONI dan KOI sendiri berakar dari kewenangan kedua organisasi tersebut, berdasarkan UU SKN. KONI bertanggung jawab pada pembinaan atlet sedangkan KOI menangani atlet yang akan berlaga di luar negeri.
"Pasti (konflik KONI dan KOI) akan ada solusinya, karena bagaimanapun revisi UU SKN ini bertujuan demi kemaslahatan dunia olah raga kita. Demi mendapatkan solusi yang terbaik, KONI dan KOI bisa duduk bersama untuk bertukar pikiran terkait upaya Komite III DPD RI mendapatkan masukan terkait revisi UU SKN," tambah Maya Rumantir.
Senada itu, Ketua Umum KONI Banten, Brigjen Pol (Purn) Rumiah Kartoredjo dalam sambutannya menyatakan, perlu terjalin harmonisasi antara semua pemangku kepentingan maupun masyarakat olahraga nasional dalam upaya peningkatan kualitas keolahragaan nasional terkait revisi UU tersebut.