Tentang Makam Kiai Singkil di Pinggir Jalan Depan Kantor Bupati Demak
Sebuah nisan di pinggir jalan depan kantor Bupati Demak, Jawa Tengah dipercaya sebagai 'makam' Kiai Singkil. Ada dua versi cerita di balik 'makam' Kiai Singkil itu yang diyakini terkait Kasultanan Demak itu.
"Dua versi, yang jelas makam (Kiai Singkil) itu era Kasultanan Demak. Sementara versi kedua, legenda dari orang-orang, sebagai tanggul atau bendung, supaya air tidak masuk ke keraton. Sebelahnya (Kali Tuntang) ada gundukan atau tanggul sampai panjang sekali. Pusaka itu untuk dijadikan tanggul, agar air tidak masuk dalam keraton," tutur Plt Kasi Sejarah dan Cagar Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Demak, Ahmad Widodo saat ditemui di kantornya, Jumat (7/8/2020).
Nisan itu tepatnya berada di dekat Sungai Kali Tuntang yang saat ini bernama Jalan Kiai Singkil, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak Kota, Demak. Terlepas dari kepercayaan tersebut, makam itu dipercaya sebagai tanda bahwa Kiai Singkil dari Kerajaan Pasai, Aceh, pernah membantu Demak dalam upaya pembebasan dari Kerajaan Majapahit.
"Makam itu sebuah tanda bahwa Syekh Singkil pernah berdomisili di Demak sementara waktu, di dalam rangka mendukung Demak untuk melepaskan diri dari cengkeraman Majapahit," terang Widodo.
"Di makam tersebut adalah, tenan opo ora (benar atau tidak), orang-orang yang memiliki spiritual tahu bahwa di situ terdapat pusaka. Kalau ada pusaka, berarti pusaka Syekh Singkil tadi yang ditanam di sana, untuk pangingetan (pengingat) bahwa pernah berada di sana. Berarti pernah ada di daerah Demak," sambung dia.
Kala itu, Demak didukung oleh kerajaan Islam yang sudah menjadi Islam terlebih dulu. Seperti Kerajaan Pasai-Aceh, Sumatera, Jambi. Kiai Singkil merupakan ulama Aceh yang membantu Demak dalam upaya melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
"Versi saya, dari beberapa pendapat dan pengamatan, lebih kepada di mana para ulama dan wali se-Nusantara, mendukung kebebasan Demak di bawah tekanan Majapahit, karena Brawijaya pernah melarang penyebaran agama Islam, termasuk para wali se-nusantara," tuturnya.
Widodo menuturkan pada masa itu kiai dan ulama biasa berdomisili di dekat sungai. Begitu pula saat meninggal, mereka biasanya dimakamkan di dekat area rumah atau di antara sisi kanan maupun kiri rumah.
Keberadaan makam yang tidak membujur utara dan sejajar dengan Masjid Agung Demak ini tidak akan dipindahkan. Alasannya, makam itu sebagai cagar budaya dan upaya menghormati syuhada yang berjuang untuk Demak.
"Bagaimana pun juga usia makam tersebut lebih dari 50 tahun, dan nisannya masih asli, itu merupakan cagar budaya. Kita juga menghormati syuhada yang berjuang untuk Demak," katanya.