Membentuk ‘Imunitas Masyarakat’ Hadapi Gangguan Wabah Penyakit
Pertama kali saya mendengar istilah
herd-imunnity ketika berupaya mempelajari etologi Konrad Lorenz dan Niko
Tinbergen di Eropa pada masa kedua beliau memang sedang sangat populer
akibat memperoleh anugrah Nobel tahun 1973.
ETOLOGI
Sebagai
kesimpulan pengamatan atas perilaku sosial satwa, Lorenz dan Tinbergen
meyakini manusia bisa banyak belajar dari perilaku satwa, baik secara
individual mau pun sosial. Termasuk perilaku menghadapi wabah penyakit
menular. Fakta etologis membuktikan bahwa secara alami sekelompok satwa
memiliki daya kodrati untuk menghadapi wabah penyakit menular yang
kemudian disebut sebagai herd immunity berdasar penelitian A. W. Hedrich
terhadap wabah cacar di Baltimore pada tahun 1930. Fakta bahwa tidak
ada laporan tentang kasus terpapar Corona di masyarakat Fiji, Samoa,
Nauru, Tonga, Palau, kepulauan Marshall perlu ditelaah lebih cermat
apakah merupakan indikasi imunitas masyarakat setempat. Adalah DR. Sugi
Lanus sebagai tokoh lontaromolog alumnus Unversitas Oxford, Inggris yang
menyadarkan saya tentang masyarakat adat Bali dan Madura memiliki
kearifan leluhur menghadapi pageblug penyakit menular yang memang sudah
eksis sejak dahulu kala. Bahwa ada daerah di Jakarta memiliki kadar
terpapar Corona lebih tinggi ketimbang daerah lain di Jakarta merupakan
indikasi bahwa memang ada masyarakat yang memiliki daya imunitas
terhadap Corona lebih besar ketimbang masyarakat lain. Misalnya ras
mongol memiliki daya tahan tubuh rendah terhadap air susu. Sementara
masyarakat Prancis pada umumnya rawan diare akibat minum air jeruk pada
saat breakfast.
IMUNITAS MASYARAKAT
Berdasar
fakta, bahwa memang ada masyarakat tertentu yang kebal terhadap
penyakit tertentu, maka lebih santun menggunakan istilah imunitas
masyarakat yang terkesan manusiawi ketimbang herd-immunity yang terkesan
satwani. Imunitas masyarakat bisa terbentuk secara alami mau pun
dibentuk oleh masyarakat manusia dengan menyesuaikan dan menyelaraskan
perilaku demi memperkuat daya tahan tubuh masing-masing terhadap
gangguan kesehatan akibat penyakit. Perangai individual secara kodratif
kemudian meluas menjadi perangai sosial masyarakat di sekeliling
individu yang memiliki imunitas individual menjadi imunitas komunal.
Sebelum ada teknologi vaksin, umat manusia mempertahankan hidup dari
gangguan wabah penyakit menular dengan membentuk perilaku kesehatan diri
sendiri yang potensial memperkuat daya tahan tubuh misalnya dengan
minum ramuan tanaman berkhasiat, menghindari makanan yang tidak sehat,
menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan , dll perilaku yg positif dan
konstruksif menjaga tubuh jangan sampai terserang penyakit. Ketenangan
batin juga penting untuk meningkatkan daya imunitas masyarakat dengan
berdoa, meditasi, dzikir, puasa dll.
WHO
Imunitas
masyarakat tidak perlu diberhalakan namun juga tidak perlu dihujat. WHO
sudah resmi mengakui bahwa paradigma kesehatan umat manusia abad XXI
justru lebih bertumpu pada upaya preventif dan promotif ketimbang
kuratif. Lebih baik mencegah ketimbang mengobati. WHO juga mengakui
bahwa keyakinan batin yang kerap dicemooh sebagai placebo bisa
berperanserta sebagai penangkal penyakit yang diderita manusia . Pada
hakikatnya ilmu kesehatan Barat yang lebih bertumpu pada upaya kuratif,
maka fokus pada ragawi perlu dilengkapi dengan upaya preventif dan
promotif yang juga melibatkan batin yang dimiliki oleh kearifan leluhur
bangsa Indonesia terkandung pada jamu dan para penyehat Nusantara.
Sebaiknya kearifan peradaban Barat jangan melecehkan kearifan peradaban
Timur dan sebaliknya. Sebaiknya seluruh kearifan peradaban umat manusia
di planet bumi justru bersatupadu menjalin kekuatan lahir-batin demi
berjaya dalam menempuh perjalanan panjang perjuangan hidup. Termasuk
perjuangan melawan angkara murka pageblug Corona!