Latih Berwirausaha, Santri Ponpes Ini Tak Boleh Terima Uang dari Orang Tua
Pengelola pesantren harus berpikir keras untuk tetap
mengajarkan ilmu agama dan bertahan hidup dengan cara cerdas dan
mandiri, kepada para santri di masa pandemi Corona. Seperti yang
dilakukan Pesantren Al Mawaddah, Kabupaten Kudus.
Pengasuh Pesantren Al Mawaddah Kudus, KH Sofiyan Hadi
mengatakan, selain mengajarkan ilmu agama, pendidikan di pesantrennya
juga membekali santri dengan berbagai ketrampilan.
“Sehingga sejak masuk, santri sudah diajarkan mandiri,”
kata Sofiyan ditemui di kebun pesantrennya, di Desa Honggosoco,
Kecamatan Jekulo, Kudus, baru-baru ini.
Oleh karena itu, pesantren menyediakan beberapa unit
usaha yang bisa dikerjakan semua santri. Mulai toko ritel, tempat
outbound, hingga adanya kebun yang biasa dikelola santri bernama Kebun
Alquran. Nama kebun itu berdasarkan tumbuhan yang ditanam, berasal dari
nama buah yang disebutkan di Kitab Alquran, seperti berbagai jenis
kurma, tin, delima, anggur, bidara, dan lainnya.
Adapun syarat menjadi santri adalah harus berstatus
mahasiswa. Jumlah santri sekitar 60 orang. Para santri mendapatkan
pengajaran ketrampilan tergantung dari tingkatan semester di bangku
perkuliahan. Misalnya, untuk santri di semester pertama mendapatkan
pengajaran ketrampilan mengelola toko ritel. Bila sudah di semester tiga
atau lebih, keterampilannya naik menjadi pelatih (trainer), atau lainnya.
Dia menjelaskan untuk pelatih itu dibutuhkan karena di
kebun dan tempat outbound milik pesantren yang kerap dikunjungi
masyarakat, keberadaan pelatih berguna.
“Mereka (santri) dapat income dari situ. Dengan begitu,
mereka tidak membutuhkan kiriman orang tua. Jadi, syarat mondok di Al
Mawaddah. Pertama, harus mahasiswa. Kedua, ikut program tahfiz
(hafal) Alquran. Ketiga, tidak boleh menerima kiriman orang tua. Kuliah
harus dari jerih payah mereka sendiri,” sambung Sofiyan.
Ditambahkan, keberadaan pesantren itu sudah berjalan
hingga 12 tahun. Dari tempat belajar tersebut sudah ada santri yang
lulus. Mereka selain hafal Alquran, juga mendapat ketrampilan usaha.
Tidak heran jika bekal dan ketrampilan membuat orang tua santri merasa
senang.
“Enggak pakai transfer (kiriman orang tua) tapi punya tabungan hasil mandiri selama di pesantren,” ujarnya.
Dia menjelaskan di pesantren yang dikelolanya memiliki
beberapa lahan. Kalau lahan yang di atasnya berdiri bangunan pesantren,
kebun, toko, SPBU mini, dan jembatan timbang digital ini sekitar tiga
hektare. Sedangkan di lingkungan luar ada beberapa luasan lahan lagi.
Lahan di luar terbentang dari Kudus, Pati, Jepara, hingga Rembang,
digunakan untuk bisnis pertanian yang ditanami padi, tebu, kedelai,
jagung, dan pihaknya pun memiliki ratusan orang petani binaan.
Sofiyan menjelaskan dengan berbagai ketrampilan, santri
menjadi mandiri dan juga memiliki ilmu agama. Pesantrennya juga
membatasi waktu belajar hingga mereka wisuda di perguruan tingginya.
Namun sepengetahuannya, ada juga santri yang masih
bertahan di pesantren karena menikmati belajar ketrampilan berwirausaha.
Jika sudah demikian, pesantren akan memaksimalkan lulusannya sebagai
tenaga supervisi yang mengajari santri baru.
Sejauh ini santri tidak pernah mengeluh soal tanggung
jawab di pesantren. Yakni mulai menghapal Alquran, menjadi mahasiswa,
hingga menjalankan aktivitas kemandiriannya.
“Yang diberikan adalah, manajemen waktu,” imbuhnya.
Lantas apakah di masa pandemi ini, santri terganggu
dalam menjalankan aktivitas wirausahanya? Untuk menyiasati hal itu,
mereka memanfaatkan telepon pintarnya untuk memasarkan produk secara
online.
“Di pesantren, semua santri semua jualan lewat HP (handphone).
Sebulan rata-rata bisa mendapatkan uang senilai UMK (upah minimum
kabupaten) sekitar Rp 1,5 juta-Rp2 juta (per orang),” bebernya.
Di masa pandemi Covid-19 ini, pesantren memberlakukan
pula sistem belajar online. Bahkan, beberapa waktu lalu saat pesantren
mengadakan seminar kewirausahaan online, jumlah pesertanya mencapai
7.777 orang. Jadi pembelajaran tetap berjalan dari rumah, dan bisnis
tetap berjalan.
Seorang santri Muhammad Luthfi Syaf, asal Mlonggo,
Kabupaten Jepara, mengaku sudah empat tahun belajar di Pesantren Al
Mawaddah. Selama kurun tersebut, dia bisa mendapatkan ketrampilan untuk
mandiri, kewirausahaan, hingga spiritual.
“Alhamdulilah, saya di sini mendapatkan banyak pengalaman. Seperti sekarang menjadi content creator
(pesantren),” jelasnya yang juga didapuk menjadi pengelola Balai
Latihan Kerja (BLK) Komunitas pesantren, yang tengah mengedit video di
depan layar komputer. (Ak/Ul, Diskominfo Jateng)