Semangat Melayani, Layaknya Korporasi
Menjadi Aparatur Sipil Negara? Siapa yang tidak ingin. Sejauh ini, ASN masih dipandang sebagai profesi primadona bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya lulusan perguruan tinggi yang berjibaku berebut kursi CPNS. Dari tahun ke tahun jumlah pelamar semakin meningkat yang pada tahun 2020 ini mencapai 4.197.218 orang untuk memperebutkan 152.286 formasi.
Menjadi seorang PNS memang seolah tergambar beragam kemudahan dan kenyamanan. Penghasilan yang tetap, permanen, dan hampir setiap tahun memperoleh insentif dari pemerintah seperti gaji ke-13 maupun tunjangan hari raya. Menjadi PNS-pun juga dianggap memiliki budaya maupun ritme kerja yang tidak sekeras pada bidang swasta. Intinya, menjadi PNS seolah akan diperoleh jaminan penghasilan, kebebasan waktu, dan nilai prestise ditengah masyarakat. Namun, diskusi tidak terhenti sampai disitu. Menjadi ASN juga masuk dalam lingkaran dunia birokrasi yang memiliki karakteristik khas, karakteristik dengan beragam dinamika yang ada didalamnya.
Tantangan Birokrasi
Menjadi pelayanan masyarakat ternyata memang tidak mudah. Tidak hanya berjibaku bagaimana menegakkan semangat dan etos secara pribadi namun juga menjaga stamina agar mampu berdiri tegak ditengah budaya laten birokrasi. Bagi yang pernah merasakan dunia korporasi, tentu dapat merasakan betul nuansa yang berbeda dari dunia birokrasi. Terdapat sesuatu hal yang tidak mudah untuk diungkapkan namun cukup kuat dirasakan.
Tantangan utama dalam dunia birokrasi dapat kita lihat dalam konteks kualitas pelayanan yang diberikan, apakah paripurna atau tidak. Secara umum, masyarakat masih memiliki persepsi yang kuat bahwa layanan pada organisasi pemerintah masih jauh dari ekspektasi yang diharapkan. Meskipun jika kita perhatikan seksama, ekspektasi ini terus berjalan meningkat. Satu layanan diberikan, masyarakat akan meminta dan masih mengharapkan peningkatan layanan lainnya yang lebih baik. Apapun tuntutannya, itulah tantangan sekaligus tugas yang harus dijalankan organisasi pemerintah sesuai dengan gelar yang disandangnya sebagai abdi negara atau “pelayan masyarakat”.
Sepanjang menggeluti dunia birokrasi, hipotesis sederhana saya mensintesakan bahwa yang membedakan dengan dunia korporasi terletak pada budaya kerja, aspek keagresifan melayani dan sense of hospitality. Daya empati untuk menghadirkan layanan yang tidak hanya normatif “melayani” akan tetapi lebih jauh lagi yakni “membantu”. Kita sudah tidak lagi berbicara tentang “dilayani” karena naif sekali jika hal tersebut saat ini masih terjadi.